Bila Anda sedang lemah, lemes, letih dan lesu seakan kehilangan semangat untuk hidup, belajarlah kepada tokoh hebat ini. Dia adalah av...
Bila
Anda sedang lemah, lemes, letih dan lesu seakan kehilangan semangat untuk
hidup, belajarlah kepada tokoh hebat ini. Dia adalah avatar bagi masyarakat
Jawa. Pahlawan yang pilih tanding dalam hal kesaktian dan keberanian berjuang
menegakkan kebenaran, harga diri dan martabat. Hidup memang untuk berjuang,
tidak untuk merenungi penderitaan dan mengalah pada nasib!
Dor…dor…dor… terdengar letusan senjata tiga kali dari luar tembok. Ya, itu tanda perang dimulai. Sisi utara, timur dan selatan telah dikepung pasukan Kumpeni Belanda bersenjata lengkap. Laskar yang tinggal di sisi barat melakukan perlawanan keras. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Di bawah pimpinan Joyomustopo dan Joyoprawiro, laskar terdesak mundur. Kekuatan jauh berbeda. Laskar wong Jowo mengandalkan keahlian bertempur menggunakan senjata tradisional tombak dan keris, Pasukan Kumpeni Belanda memakai senjata api laras panjang Kareben.
Melihat
laskar Jawa terdesak, tiba-tiba seorang pria berjubah dengan sorban putih yang
terlilit di kepalanya, dengan tenang matek ajian yang dimilikinya.
Blar…..Sebuah pukulan jarak jauh yang dahsyat menjebol tembok barat puri yang
tebalnya sekitar satu meter. Mengendarai kuda putih, dia memberi komando agar
laskar yang tersisa memilih menjauh ke barat. Sebuah keputusan berat demi
keselamatan laskar dan keluarganya. “Perang sesungguhnya baru saja akan
dimulai” ujarnya dalam hati.
Itulah
situasi pada tanggal 20 Juni 1825 di Yogyakarta saat pasukan Belanda menyerang
Puri Tegalrejo. Itu adalah awal perang yang dikenal dengan nama Perang
Diponegoro (1825 – 1830).
Pada
masa itu Kerajaan Mataram Yogyakarta dipegang oleh Patih Danurejo bersama Para
Reserse dari Pemerintahan Kolonial Belanda. Penyerangan Puri ini adalah sebagai
buntut tuduhan pihak Belanda bahwa Pangeran Diponegoro akan memberontak. Itu
setelah Belanda membuat jalan yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang
melewati puri halaman rumah Beliau.
Belanda
beralasan Pangeran Diponegoro memberontak sehingga mengepung kediaman beliau.
Dengan kesaktiannya, Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya mampu
menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan
meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima
kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Belanda
yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro akhirnya melampiaskan
kemarahannya dengan membakar habis puri Pangeran….
Pangeran
Diponegoro, si manusia sakti mandraguna ini memiliki nama kecil Bendoro Raden
Mas Ontowiryo, lahir di Yogyakarta tanggal 11 Nopember 1785. Berbeda dengan
anak kaum bangsawan, masa kecil dihabiskannya di sebuah desa yang asri, di Desa
Tegalrejo sebelah barat Keraton Mataram. Sejak kecil dia berkumpul dengan
rakyat jelata dan menghayati religiusitasnya bersama para kawulo alit.
Itu
sebabnya, dalam hidupnya yang penuh perjuangan Pangeran Diponegoro lebih
tertarik pada kehidupan keagamaan dan kesetaraan dengan rakyat, daripada
bergelimang harta, tahta dan wanita sebagaimana biasa yang terjadi di kalangan
keluarga istana. Meskipun tidak tinggal di Keraton, Sang Ayah mengetahui bahwa
Raden Mas Ontowiryo memiliki jiwa kepemimpinan yang kokoh kuat. Apalagi dia
gentur bertapa, mengolah batin sehingga hidupya jejeg dan jejer, lurus dengan
garis Sangkan Paraning Dumadi.
Sang
ayah, Sultan Hamengku Buwono III akhirnya memutuskan mengangkatnya sebagai raja
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Tapi apa tanggapan sang pangeran? “Saya
menolak. Biarlah yang lain saja bopo” ujarnya dengan mimik tenang. Ya,
Diponegoro menolak karena merasa bahwa ibunya bukan permaisuri dan hanya selir
Sang Raja. Ibunya bernama Raden Ayu Mangkorowati, seorang puteri Bupati
Pacitan.
Situasi
penjajahan kolonial Belanda saat itu memang menyebalkan. Sejak tahun 1820-an
kompeni Belanda sudah mencampuri urusan kerajaan-kerajaan di nusantara tidak
terkecuali Mataram, Yogyakarta. Peraturan tata tertib dibuat oleh pemerintah
Belanda yang sangat merendahkan martabat raja-raja Jawa. Para bangsawan diadu
domba. Tanah-tanah kerajaan banyak yang diambil untuk perkebunan milik
pengusaha-pengusaha Belanda. Rakyat yang mempergunakan jalan untuk transportasi
perdagangan dibebankan pajak yang tinggi.
Kesabaran
Pangeran Diponegoro untuk diam akhirnya berakhir ketika pematokan dilaksanakan
Belanda pada sawah-sawah rakyat terlebih lagi melintasi kompleks pemakaman
bekas leluhur para Raja Jawa. Saat itu Raja adalah Sri Sultan Hamengkubuwono V
yang dinobatkan ketika dia baru berumur 3 tahun.
Pemeritahan
Kasultanan saat itu tidak berdaya, karena ternyata kekuasaan yang sebenarnya
terselubung dan berkoloberasi dengan Pemerintahan Kolonial. Pangeran Diponegoro
akhirnya menyusun rencana untuk melawan penjajahan biadab tersebut. Beliau
mengajak Kyai Mojo seorang ulama Islam yang sekaligus guru spiritualnya yang
juga pamannya. Kyai Mojo ini mempunyai banyak pengikut dan disegani, di
antaranya Tumenggung Zees Pajang Mataram, Tumenggung Reksonegoro dan lain-lain.
Kharisma
Diponegoro yang kuat menjadi daya tarik bagi para pemuda. Di antara pemoda yang
siap untuk menjadi tameng dada adalah Sentot Prawirodirdjo. Sentot adalah
pemuda yang pemberani. Ayahnya bernama Ronggo Prawirodirjo adalah ipar Sultan
Hamengku Buwono IV. Sang Ayah Sentot ini pernah mengadakan pemberontakan
melawan Belanda tapi berhasil dibunuh oleh Gubernue Jendral Daendles. Dengan
kematian ayahnya, Sentot Prawirodirdjo merasa harus balas dendam.
Setelah
Tegalrejo jatuh ke pihak musuh pada tanggal 20 Juni 1825 itu, Pangeran
Diponegoro membangung pusat pertahanan di Gua Selarong dengan strategi perang
gerilya. Belanda kewalahan karena sulit menghancurkan kekuatan kecil-kecil yang
hanya sesekali datang menyerang dan setelah itu cepat menghilang. Senjata yang
dipakai untuk gerilya sangat beragam mulai dari senjata perang tombak, keris,
pedang, panah, “bandil” (semacam martil yang terbuat dari besi), “patrem”
(senjata prajurit perempuan), hingga “candrasa” (senjata tajam yang bentuknya
mirip tusuk konde) yang biasa digunakan “telik sandi” (mata-mata) perempuan.
Dua
senjata keramat semasa Perang Diponegoro adalah sebuah keris dengan lekukan 21
bernama Kyai Omyang, buatan seorang empu yang hidup pada masa Kerajaan
Majapahit dan pedang yang berasal dari Kerajaan Demak. Kedua senjata tersebut
memiliki energi kesaktian yang hebat. Namun sayangnya, keris milik Pangeran
Diponegoro justeru tidak ada di Indonesia dan hingga kini masih disimpan di
Belanda.
Di
kawasan gua, pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang
juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir
yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan
pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah timur.
Di
Goa putri ini ditemukan sejumlah alat rumah tangga yang terbuat dari kuningan
terdiri dari tempat sirih dan “kecohan”-nya (tempat mebuang ludah), tempat
“canting” (alat untuk membatik), teko “bingsing”, bokor hingga berbagai bentuk
“kacip” (alat membelah pinang untuk makan sirih).
Perang
Diponegoro yang oleh kalangan Belanda disebut Java Oorlog (Perang Jawa),
berlangsung hingga tahun 1830. Dalam perang ini, kerugian pihak Belanda tidak
kurang dari 15.000 tentara serta menghabiskan dana hingga 20 juta gulden.
Beberapa tokoh perlawanan dibujuk oleh Belanda sehingga mereka bersedia menghentikan
peperangan. Sejak tahun 1829 perlawanan semakin berkurang, tapi masih berlanjut
terus. Belanda mengumumkan akan memberi hadiah sebesar 50.000 golden kepada
siapa saja yang dapat menangkap Diponegoro.
Pasukan
dan kekuatan Diponegoro melemah, tapi ia tidak pantang menyerah. Karena Belanda
tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro, lalu Belanda menjalankan cara
yang licik yaitu dengan cara mengundang Pangeran Diponegoro untuk berunding di
Magelang tanggal 28 Maret 1830. Itulah akhir perjuangan perang Sang Avatar dari
tanah Jawa. Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Menado, kemudian dipindahkan ke
Ujungpandang/Makasar.
Perang
Diponegoro tercatat memakan korban luar biasa besar. Dipihak Belanda sebanyak
8.000 serdadu, 7.000 prajurit pribumi, dan 200.000 orang Jawa, sehingga
mengakibatkan penyusutan penduduk Jawa pada waktu itu.
Sementara
itu Sentot Prawirodirdjo berhasil dibujuk Belanda, dan meletakkan senjata pada
tanggal 17 October 1829, dan dia dikirim Belanda ke Sumatra Selatan untuk
melawan pembrontakan para ulama dalam perang Paderi, kemudian wafat di Bengkulu
pada tanggal 17 April 1855 dalam usia 48 tahun.
Pangeran
Diponegoro meninggal dunia di benteng Rotterdam Ujungpandang, pada tanggal 8
Januari 1855 dan dimakamkan disana. Kini apabila kita berkunjung ke makam di
Jalan Pangeran Diponegoro Kelurahan Melayu, Wajo, Makasar, kita akan mengelus
dada. Makam pahlawan nasional ini tidak terawat dan berada di antara ruko-ruko
yang semakin menjamur. Bangunan ruko-ruko yang berada di jalan tersebut nyaris
menutup makam tersebut. Hanya sebuah bendera merah putih yang bisa menandai
adanya makam tersebut.
Perawatan
makam juga tidak maksimal. 3 orang pekerja yang menjaga makam ini hanya digaji
Rp 15 ribu per minggu. Pemkot Makassar mengeluarkan bantuan tiap bulannya Rp
200 ribu per bulan. Bantuan inipun baru ada sejak tahun 2005.
KRONOLOGI PERANG DIPONEGORO
KRONOLOGI PERANG DIPONEGORO
16
FEBRUARI 1830, Kolonel Cleerens menemui Pangeran Diponegoro di Remo Kamal,
Bagelan, Purworejo, untuk mengajak berunding di Magelang. Usul ini disetujui
Pangeran.
28
MARET 1830, bersama laskarnya, Pangeran Diponegoro menemui Letnan Gubernur
Jenderal Markus de Kock. Pada pertemuan tersebut De Kock memaksa Pangeran untuk
menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Pangeran. Tetapi Belanda, melalui
Kolonel Du Perron telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Pangeran dan
seluruh laskarnya berhasil dilumpuhkan. Hari itu juga Pangeran diasingkan ke
Ungaran kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang.
5
APRIL 1830 dibawa ke Batavia menggunakan Kapal Pollux.
11
APRIL 1830 sesampainya di Batavia, beliau ditahan di Stadhuis (sekarang Gedung
Museum Fatahillah).
30
APRIL 1830, Gubernur Jenderal Van den Bosch menjatuhkan hukuman pengasingan
atas Pangeran Diponegoro, Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta
pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng juga Nyai Sotaruno ke
Manado.
3
MEI 1830, rombongan Pangeran diberangkatkan dengan Kapal Pollux dan ditawan di
Benteng Amsterdam. Belanda yang merasa Pangeran masih menjadi ancaman, karena
di tempat ini masih bisa melakukan komunikasi dengan rakyat.
1834
diasingkan secara terpisah. Pangeran bersama Retnaningsih diasingkan ke
Makassar, Sulawesi Selatan, dan di tahan di Benteng Roterdam dalam pengawasan
ketat. Di benteng ini, Pangeran tidak lagi bebas bergerak. Menghabiskan
hari-harinya bersama Retnaningsih, Pangeran Diponegoro akhirnya menghembuskan
nafas terakhirnya pada tanggal 8 Januari 1855. Jasad beliau disemayamkan
berdampingan dengan makam Retnaningsih.
By.. wongalus
COMMENTS