Mayor Jantje, seorang Mardijker ( sebutan bekas budak belian/para tawanan yang umumnya berasal dari Asia Selatan (Benggala) yang te...
Mayor Jantje, seorang Mardijker ( sebutan bekas
budak belian/para tawanan yang umumnya berasal dari Asia Selatan (Benggala)
yang telah dibebaskan setelah bersedia pindah agama dari Katholik ke Protestan.
Mardijker bisa dipadankan dengan istilah “orang-orang yang merdeka”.) yang
bernama asli Augustijn Michiels (1769-1833).
banyak orang yang belum mengenalnya, padahal dalam sejarah Batavia, dialah tokoh dari abad 19 yang sangat terkenal. Orang menjulukinya “de rijkste grondeigenaar van Java” atau pemilik tanah terkaya di Jawa. Beberapa tanah luas berada di bawah kepemilikannya seperti: Tjitrap (Citeureup), Cileungsi, Cimapag, Cipamingkis, Cibarusa, Tanah Baru, Sukaraja, Nanggewer dan terutama Klapa Nunggal dengan sarang burung waletnya sebagai sumber kekayaan yang terus mengalir tiada henti. Julukan Mayor diberikan kepadanya setelah ia mengakhiri karier militer selama 20 tahun, memimpin sebuah pasukan kaum Papang (merujuk nama suku Papango di Luzon, Philipina) bentukan pemerintah kolonial.
Augustijn Michiels menerima warisan Klapa Nunggal dari ayahnya Jonathan Michielsz, cucu dari seorang budak yang telah dibebaskan bernama Titus van Benggala yang akhirnya berubah nama menjadi Titus Michielsz setelah berpindah agama. Nama Michielsz belakangan menjadi klan yang terkenal di kalangan kaum Mardijker dan mencapai kegemilangan pada masa Augustijn Michiels—yang dengan sengaja menghilangkan huruf z di belakang namanya—alias sang Mayor Jantje kita ini.
banyak orang yang belum mengenalnya, padahal dalam sejarah Batavia, dialah tokoh dari abad 19 yang sangat terkenal. Orang menjulukinya “de rijkste grondeigenaar van Java” atau pemilik tanah terkaya di Jawa. Beberapa tanah luas berada di bawah kepemilikannya seperti: Tjitrap (Citeureup), Cileungsi, Cimapag, Cipamingkis, Cibarusa, Tanah Baru, Sukaraja, Nanggewer dan terutama Klapa Nunggal dengan sarang burung waletnya sebagai sumber kekayaan yang terus mengalir tiada henti. Julukan Mayor diberikan kepadanya setelah ia mengakhiri karier militer selama 20 tahun, memimpin sebuah pasukan kaum Papang (merujuk nama suku Papango di Luzon, Philipina) bentukan pemerintah kolonial.
Augustijn Michiels menerima warisan Klapa Nunggal dari ayahnya Jonathan Michielsz, cucu dari seorang budak yang telah dibebaskan bernama Titus van Benggala yang akhirnya berubah nama menjadi Titus Michielsz setelah berpindah agama. Nama Michielsz belakangan menjadi klan yang terkenal di kalangan kaum Mardijker dan mencapai kegemilangan pada masa Augustijn Michiels—yang dengan sengaja menghilangkan huruf z di belakang namanya—alias sang Mayor Jantje kita ini.
simbol klan ini berupa perisai bergambar burung walet
membawa ranting lambang perdamaian dan di depannya sebuah bintang besar lambang
keberuntungan dan kejayaan. Di atasnya sebuah pohon rindang dengan akar-akar
yang kuat menancap berserta seekor walet yang tengah membangun sarang. Sebelah
bawah berupa gambar karang-karang terjal, mungkin menggambarkan karang di Klapa
Nunggal. Sepertinya simbol-simbol itu bermaksud menggambarkan status sosial
serta sumber kemakmuran yang mereka peroleh. Simbol ini dapat kita temui juga
pada batu nisan Jonathan Michielsz yang tersimpan di Museum Prasasti Jakarta
bernomor 13.
Fakta yang cukup mengherankan, kenapa
orang terkaya pada waktu itu bukan berasal dari kalangan Belanda/Eropa yang
jelas-jelas mendapat kemudahan akses meraih segalanya. Malahan berasal dari
keturunan budak yang telah dibebaskan. Dengan kekayaannya seharusnya Mayor
Jantje bisa saja dengan mudah membeli rumah di daerah elite sekitar
Weltevreden, tapi ia justru memilih tinggal di sebuah tempat bernama Semper
Idem, di lingkungan komunitas Mardijker lainnya di daerah Jacatra—Jalan
Pangeran Jayakarta sekarang—dekat dengan Gereja Portugis (Gereja Sion).
Meskipun begitu rumah besar bercat putih berlantai dua ini lebih sering kosong
karena Mayor Jantje lebih betah berlama-lama di vilanya di Citrap (Citeureup)
yang berjarak 22 Pal (sekitar 33 Km) dari Batavia.
(Sumber
: Buku berjudul Mayor Jantje:
Cerita Tuan Tanah Batavia Abad Ke-19 hasil tulisan Johan Fabricius. Naskah aselinya
berbahasa Belanda berjudul De Zwaluwen van
Klapanoenggal atau
Burung-burung Walet Klapanoenggal dalam Bahasa Indonesia)
COMMENTS