Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda , sebuah kerajaan yang selama bebera...
Pakuan Pajajaran atau
Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, sebuah
kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7
hingga abad ke-16) pernah berdiri
di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan
Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.
Asal-usul dan arti
Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran
dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu:
- Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
- K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
- G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
- R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
- H. ten Dam (1957). Sebagai seorang pakar pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".
Ia berpendapat bahwa
"pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti
ibukota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata
"pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk
laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana
Pakuan di Pajajaran yang terletak antara "Sungai Besar" dan
"Sungai Tanggerang" (sekarang dikenal sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa
nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ci Liwung dan
Ci Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam
adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Sebutan
"Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran"
dapat ditemukan dalam Prasasti
Batutulis (nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi.
Dalam naskah Carita Parahiyangan ada
kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman
Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan
Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu
Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana
(untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam
di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang
Sri Ratu Dewata).
Sanghiyang Sri Ratu
Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan"
itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya.
"Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton,
kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti
yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang
berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana
yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri.
Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta,
Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam
peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah
nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain,
yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.
Karena nama yang
panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau
Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan
akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta
Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan
nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.
Pendapat Ten Dam
(Pakuan = ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa
ibukota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di
daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya
dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan
Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila
bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata
"dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan"
untuk menyebut ibukota kerajaan.
Untuk praktisnya, dalam
tulisan berikut digunakan "Pakuan" untuk nama ibukota dan
"Pajajaran" untuk nama negara, seperti kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini.
Lokasi
Pakuan
Naskah
kuno
Salinan gambar
"Lokasi dan Tempat Ibu Kota Pakuan Pajajaran" dari buku Kabudayaan
Sunda Zaman Pajajaran Jilid 2, 2005)
Dalam kropak (tulisan
pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat
petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah
diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum
diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah
pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:
“
|
Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran
Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy
diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci
Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka
hareupeun Maharaja Tarusbawa.
Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga
Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan
Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda
Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.
|
”
|
Dari sumber kuno itu
dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci
Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung
Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi.
Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu
sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya
menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata "kancil" memang berarti
"peucang".
Berita-berita
VOC
Laporan tertulis
pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi
pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische
Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah
disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki
perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka
VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut
Kumpeni Inggris.
Setelah mencapai
persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni
Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten
(1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah
pihak.
Laporan
Scipio
Dua catatan penting
dari ekspedisi Scipio adalah:
- Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Berikut adalah salah satu bagian catatannya: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".
- Lukisan jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari perjalanannya
disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan
wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis".
Penemuan Scipio
segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di
Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan
bahwa menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de
verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa
istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja
"Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat
oleh sejumlah besar harimau).
Rupanya laporan
penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang
diterkam harimau di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687.
Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah
menumbuhkan mitos adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan
harimau.
Laporan
Adolf Winkler (1690)
Laporan Scipio
menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali
team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Adolf Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16
orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur.
Perjalanan ringkas
ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut :
Seperti Scipio,
Winkler bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke
selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut "twee
lanen". Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan
tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia
hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini
sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati
sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan
berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya
membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit
setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung
Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke
pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda
santai.
Bila kembali ke
catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana
dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka
dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada zaman Pajajaran
merupakan "Kebun Kerajaan". Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti
"tanam, tanaman atau kebun". Tajur Agung sama artinya dengan
"Kebon Gede atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajur Agung
menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan
pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.
- Dari Tajur Agung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon Gintung.
- Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan ("het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben"). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh (7) batang pohon beringin.
- Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca ("Purwa Galih"), maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung). Bale kambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.
Dengan indikasi
tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi
Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang
sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang
ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang
terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada
dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.
- Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).
Yang penting adalah
untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi
setelah terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau
hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap
pada posisi semula.
- Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.
Laporan
Abraham van Riebeeck (1703,
1704, 1709)
Abraham adalah putera
Jan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya
di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi
VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal.
Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan
tandu.
Rute perjalanan tahun
1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondok Cina - Depok - Pondok
Pucug (Citayam) - Bojong Manggis (dekat Bojong Gede) - Kedung Halang - Parung
Angsana (Tanah Baru).
Rute perjalanan tahun
1704: Benteng - Tanah Abang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondok Cina dan seterusnya
sama dengan rute 1703.
Rute perjalanan tahun
1709: Benteng - Tanah Abang - Karet - Serengseng - Pondok Pucung - Bojong
Manggis - Pager Wesi - Kedung Badak - Panaragan.
Berbeda dengan Scipio
dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat
mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan
tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari
laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang "de toegang"
(jalan masuk) atau "de opgang" (jalan naik) ke Pakuan.
Beberapa hal yang
dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:
- Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).
- Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada zaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
- Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota.
- Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.
Pada kunjungan tahun
1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa
Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan
("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian
melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.
Hasil
Penelitian
Prasasti Batutulis
sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan
tangan" untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama
dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang
ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus Pleyte
yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti
itu.
Hasil penelitian
Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun
1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg
atau "Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan,
"Waar
alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het
huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht
stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in
deze te trachten".
(Dalam
hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung
Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah
yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).
Sedikit kotradiksi
dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi
keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh
wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan
kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan
sebagai kota.
Babad Pajajaran
melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan
"Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota
dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di
daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi
dengan Jalan Batutulis.
Peneliti lain seperti
Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama
Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana
Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data
kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan
bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu
terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasik, leuwi
(lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu
ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi
Sipatahunan" itu.
Pantun Bogor mengarah
pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat
perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama
"Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah
yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang
kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan.
Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang
terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan
datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar.
Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini
"Kuta Maneuh".
Sebenarnya hampir
semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis
14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana)
yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban"
dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang
Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan
batu-batu bekas "balay" yang lama.
Panelitian lanjutan
membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah
dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti
"porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang
dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada
bekas lokasi gerbang.
Benteng pada tempat
ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci
Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop
Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara
sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana
dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan
pada bekas pondasi benteng.
Selanjutnya benteng
tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan
Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di
bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang
sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak
lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya
Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan
Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung
Lawang Gintung.
Di Kampung
Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu
puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis.
Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai
di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci
Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada
tebing Kampung Cincaw.
Pemerintahan
di Pakuan Pajajaran
Kejatuhan Prabu
Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit
tahun 1478 telah memengaruhi jalan sejarah di Jawa
Barat. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga
yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara
seayah Prabu Kertabumi. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan
kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari
salah seorang isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi
raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah
seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
Dalam Carita Parahiyangan
disebutkan "estri larangan ti kaluaran". Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali
ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut
"perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak
boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia
atau membatalkan pertunangan.
Dengan demikian, Dewa
Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar
sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga
besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun,
kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu
bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta
Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu
Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini
(Jayadewata).
Dengan peristiwa yang
terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana
berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di
Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini
menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan
menjadi pusat pemerintahan.
Masa akhir kerajaan
Sunda di Pakuan Pajajaran dihitung dari masa Sri Baduga Maharaja
berlangsung selama 97 tahun, yang secara berturut-turut dipimpin oleh
- Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521)
- Surawisesa (1521 - 1535)
- Ratu Dewata (1535 - 1534)
- Ratu Sakti (1543 - 1551)
- Ratu Nilakendra (1551 - 1567)
- Raga Mulya (1567 - 1579)
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Pakuan_Pajajaran
COMMENTS