Istana Tjitrap Mayor Jantje, merupakan salah satu Tentara Papango dalam satuan tentara Kompeni / VOC Hindia Belanda. ...
Mayor Jantje, merupakan salah satu Tentara Papango dalam satuan
tentara Kompeni / VOC Hindia Belanda. Kesatuan tentara lain yang mengabdi pada
Penjajah Belanda adalah Moro yang merupakan orang-orang India-Bengala, Kesatuan
Tentara Jawa dan Kesatuan Tentara Ambon,disamping Kesatuan Tentara asli
Belanda.
Sedang Kesatuan
Papango atau disebut juga orang-orang Mardijkers adalah orang pribumi Filipina
yang sudah direkrut di zaman penjajah Spanyol di Filipina,lalu sebagian
direkrut penjajah Portugis di Indonesia dan Malaka,Malaysia dan dibaptis
menjadi orang Kristen Katolik dan diberi nama Portugis.
Mereka kebanyakan
berdiam di wilayah Tugu dan Semper yang merupakan pinggiran Jakarta dan masih
rawa-rawa waktu itu.Tentara Papango yang terkenal disiplin dan ganas ini
setelah Portugis pergi,lalu direkrut oleh penjajah Belanda,dan setelah Belanda
pergi dari Indonesia,mereka mengaku keturunan Portugis dan hingga kini terkenal
dengan kesenian Keroncong Tugu.Mayor Jantje adalah salah satu tentara Papango
yang bernasib mujur karena mewarisi tanah-tanah yang sangat luas dari ayahnya.
Tanah-tanah luas itu
pada mulanya milik Raden Saki, Pangeran ningrat putra Sultan Ageng Banten. ia
menjual tanah-tanah itu kepada VOC dengan harga relatif murah.
VOC yang korup
menjual kembali tanah itu kepada seorang tuan tanah Belanda,Baron Hohendorff
dengan harga agak menguntungkan. Ahli waris Baron tersebut lalu menjual tanah
tersebut dengan harga murah kepada Agustijn Michiels,tentara Mardijkers/Papango
yang mempunyai jiwa bisnis.
Sebetulnya,Mayor
Jantje sudah mewarisi tanah Cileungsi dan Klapanunggal dari ayahnya, Jonathan
Michiels,seorang letnan dalam kesatuan tentara Mardijkers/Papango. Tanah itu
terlantar, padahal penuh sarang burung walet.
Setelah diwariskan
kepada Mayor Jantjelah,maka tanah-tanah itu dibisniskan,baik dikeduk sarang
waletnya,maupun disub-kontrakkan kepada pengusaha perkebunan Cina. Setelah
kaya,uangnya terus dikembangkan dengan membeli tanah-tanah lain
sekitarnya,seperti disebut di atas.
Dan baru setelah
kayaraya, maka ia membangun kembali Istana Citeureup yang merupakan warisan
dari Raden Saki. Istana itu diperbesar dan diperindah,dengan taman-taman dan
danau yang indah,apalagi memang kontur tanah sekitar Bogor sangat hijau indah
berlembah dan berbukit,dengan sungai-sungai yang jernih,bagai puisi Ajip Rosidi
“Priangan si Jelita”,yang antara lain menyebutkan bahwa Tuhan sedang tersenyum
bahagia ketika menciptakan tanah Priangan.
Johan Fabricius cukup
piawai menggambarkan suasana Citrap masa lalu. Lewat tulisannya, kita bisa
membayangkan lanskap sebuah daerah perkebunan jauh di pelosok Batavia arah ke
selatan dengan bukit dan lembah menghijau karena rimbunnya pepohonan. Sungai
Citrap di dekat vila yang meliuk-liuk dengan airnya yang jernih mengalir,
tempat Mayor Jantje dan tamu-tamunya sekali-kali mandi dan berenang. Jauh di
ufuk terlihat bukit Hambalang dengan latar belakang gunung Gede dan
gunung-gunung lainnya yang membiru. Tak terbayangkan sebuah tempat seindah itu
beberapa ratus tahun kemudian berubah menjadi kawasan industri yang gersang dan
panas, di mana daun-daunnya pun telah teselimuti debu industri.
Sesekali waktu Sang Mayor pun turun ke bawah alias berkeliling
kampung-kampung yang berada di kawasan tanah yang ia sewakan. Selain untuk
tujuan inspeksi, ia juga sering diundang ke hajatan pernikahan. Sebuah fakta
yang cukup mengagetkan, bahwa sebagai tuan tanah ia berhak menikmati malam
pertama atas sang mempelai perempuan! Sebuah kebiasaan masa lalu yang aneh.
Sepanjang jalan yang dilewati selalu dipenuhi oleh orang-orang kampung, terutama anak kecil yang menunggu Sang mayor membagi-bagikan uang logam kepada mereka. Dan Sang Mayor pun amat menikmati pemandangan ketika tangan-tangan kecil itu berebutan koin-koin yang ia sebarkan dari atas pelana kuda.
Sepanjang jalan yang dilewati selalu dipenuhi oleh orang-orang kampung, terutama anak kecil yang menunggu Sang mayor membagi-bagikan uang logam kepada mereka. Dan Sang Mayor pun amat menikmati pemandangan ketika tangan-tangan kecil itu berebutan koin-koin yang ia sebarkan dari atas pelana kuda.
Jika,kita melihat
foto-foto wisma tjitrap,kita bisa membayangkan,bahwa Istana Citeureup tidak
kalah dari Istana Bogor yang milik resmi pemerintah Hindia-Belanda saat itu,dan
kini menjadi salah satu Istana Negara Indonesia.
Istana Citerep
menjadi terkenal,karena Agustin Michiels yang murah hati dan dermawan,membuka
lebar-lebar istananya bagi siapapun,terutama para pejabat Hindia-Belanda,dan
menyelenggarakan pesta 24 jam hampir sepanjang masa hidupnya,terutama di
hari-hari akhir pekan.
Kehidupan bak opera
1001 malam itu tidak berkeputusan di Istana Citrap,semua tamu gratis
makan,minum,pesiar,berjalan-jalan naik kereta kuda,mandi di sungai jernih,atau
bermain kartu. Mereka dihibur oleh 3 korps musik milik Mayor Jantje yang
bermain bergantian,pagi,siang dan malam.
Kebutuhan beras saja
adalah 3280 gantang beras dalam sebulan untuk kehidupan di Istana Citerep,belum
kebutuhan lain.Tiga korps musik milik pribadi Mayor Jantje adalah Kelompok
Tanjidor yang memainkan musik Eropa dengan caranya yang khas,kelompok Musik
Cina yang mungkin nantinya berkembang menjadi musik gambang kromong, dan
kelompok musik gamelan Jawa.
Untuk menampung
tamu-tamu nya terutama dari kalangan keluarga terhormat—Mayor Jantje membangun
banyak pavilyun di sekitar bangunan utama vila. Kurang ajarnya, tamu-tamu ini
bisa betah berbulan-bulan tinggal di situ, mendapatkan akomodasi, makan dan
hiburan gratis tanpa bersusah payah karena budak-budak yang banyak siap
melayaninya. Sungguh sebuah perbuatan tak tahu diri dan tak tahu malu! Setiap
bulan ribuan gantang beras bisa dihabiskan di tempat ini.
Tiga puluh orang
budak yang mahir memainkan alat musik Eropa ia ambil di antara ratusan budaknya
yang lain, membentuk sebuah korps musik. Mereka begitu piawai memainkan
repertoar Barat seperti Serenade yang mengahanyutkan bahkan Ave Verum-nya
Mozart yang mengoyak-ngoyak hati. Konon musik merekalah cikal bakal kesenian
Betawi masa kini bernama Tanjidor.
Semakin malam,
puluhan penari Ronggeng pun siap menggantikan peran korps musik. Dibuka dengan
tarian tandak yang dimainkan Sang Mayor berduet dengan seorang penari Ronggeng.
Di sinilah Sang Mayor memamerkan kemampuannya dalam menandak. Setelah itu
seluruh tamu—khususnya para bujangan—menari bersama para Ronggeng yang pandai
memancing perhatian anak-anak muda itu dengan lirikan dan goyang pinggul
menggoda. Di penghujung acara, para bujangan yang biasanya mabuk menggandeng
Ronggeng pasangannya masuk ke kamarnya masing-masing.
Pesta usai, Sang
Mayor pun kembali dibalut kesepian mendalam. Bukan masalah kebutuhan biologis
yang menggelayuti pikirannya, karena dia bisa dengan mudah mendapatkannya. Ia
merindukan cinta seperti yang diberikan Davida, kekasih hatinya yang telah
tiada. Satu-satunya orang yang mengerti perasaannya adalah mbok Sita, perempuan
tua yang telah menemani dengan setia sepanjang hidupnya tak terkecuali di saat
maut menjemputnya. Dialah yang sehari-hari mengurusi kebutuhan Sang Mayor
termasuk menyediakan budak wanita pilihan untuk teman tidurnya, bila
dibutuhkan. Ketika malam semakin larut, bentuk pelariannya yang lain adalah
candu. Benda ini yang bisa menghantarnya tidur dalam kedamaian sampai pagi
menjelang. Sebentuk pelarian dari kehidupan yang serba hedonis ini ternyata
nyaris tak berbeda dari dulu hingga sekarang.
(Sumber : Buku berjudul Mayor Jantje: Cerita Tuan Tanah
Batavia Abad Ke-19 hasil tulisan Johan Fabricius. Naskah
aselinya berbahasa Belanda berjudul De Zwaluwen van Klapanoenggal atau
Burung-burung Walet Klapanoenggal dalam Bahasa Indonesia)
COMMENTS