TULISAN Her Suganda, "Memandang Bubat dari Jauh", menarik untuk diberi catatan tambahan. Artikel tersebut menegaskan ...
TULISAN Her Suganda, "Memandang Bubat dari
Jauh", menarik untuk diberi catatan tambahan. Artikel tersebut menegaskan
bahwa Perang Bubat itu benar-benar pernah terjadi dan membuat luka batin yang
panjang dalam relung hati orang Sunda. Menafikan Perang Bubat tidak hanya
membuang sebagian memori kolektif orang Sunda, lebih jauh berarti menghilangkan
pula peran historis Prabu Siliwangi. Tanpa peristiwa syahidnya Prabu Wangi,
tidak akan ada sang pengganti bernama Silih-wangi itu. Padahal semua orang
Sunda bangga mengaku sebagai seuweu-siwi Siliwangi.
Artikel ini coba melihat Bubat dari sisi lain,
yakni hikmah sejarah dari peristiwa Bubat, munculnya tokoh Siliwangi. Allah Anu
Maha Ngersakeun, telah menganugerahkan Siliwangi kepada orang Sunda, sebagai
pengganti dan pemimpin dari tewasnya Linggabuana dan Dyah Pitaloka.
PERANG BUBAT DAN PRABU SILIWANGI
Dalam prasasti Batutulis, Prabu Surawisesa tidak
menuliskan nama Siliwangi untuk ayahnya. Prasasti untuk mengabadikan jasa-jasa
Sri Baduga Maharaja, itu dibuat tahun 1455 Saka atau 1533 M, dua belas tahun
setelah ayahnya wafat. Dalam prasasti itu disebutkan, "Semoga selamat.
Inilah tanda peringatan (bagi) prabu ratu almarhum.
Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga! Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusalarang. yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan-jalan yang diperkeras dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuatnya). (dibuat) dalam tahun Saka 1455".
Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga! Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusalarang. yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan-jalan yang diperkeras dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuatnya). (dibuat) dalam tahun Saka 1455".
Demikian pula dalam prasasti yang lain, nama
Siliwangi tidak tertera. Fakta ini sempat membuat penasaran para sejarawan yang
bertemu di Keraton Kasepuhan Cirebon tahun 1677 M. Sebagaimana diketahui, di
keraton itu pernah diadakan gotrasawala sejarah, yang hasilnya kemudian dikenal
sebagai naskah Wangsakerta. Mengenai naskah ini bisa dilihat dalam polemik di
harian ini antara Edi S. Ekadjati (1) Persoalan Sekitar Hari Jadi Jawa Barat
(2/2/ 2002), (2) Sekitar Naskah Pangeran Wangsakerta (19/2/2002), (3) Sekali
Lagi Sekitar Naskah Wangsakerta (27/5/ 2002), dan Nina H. Lubis (1) Naskah
"Wangsakerta" dan Hari Jadi Jawa Barat (20/1/2002), (2) Naskah
Wangsakerta Sebagai Sumber Sejarah? (6-7/03/2002).
Karena menjadi pembicaraan luas pada gotrasawala
itu, secara khusus Sultan Sepuh I menugaskan adiknya, Pangeran Wangsakerta,
yang menjadi ketua panitia pertemuan, untuk meneliti lebih jauh mengenai tokoh
tersebut. Terlepas dari sifat "kontroversi"-nya, naskah Wangsakerta
memberikan gambaran cukup jelas mengenai tokoh Siliwangi.
Pangeran Wangsakerta mencatat, pertama, dalam
Nusantara Parwa II Sarga 2 (1678 M), "Sesungguhnya tidak ada raja Sunda
yang bernama Siliwangi, hanya penduduk Tanah Sunda yang menyebut Prabu
Siliwangi."
Kedua, dalam Kretabhumi I/4 (1695: 47),
"Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua penduduk Jawa Barat yang
menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi itu bukan pribadinya. Jadi, siapa
namanya Raja Pajajaran ini?"
Ketiga, dalam naskah yang sama halaman 47-48,
"Raja Pajajaran dinobatkan dengan nama Prabu Guru Dewataprana dan
dinobatkan lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran
Sri Sang Ratu Dewata."
Keempat, masih dalam Kretabhumi halaman 51,
"Rahiang Dewa Niskala berputra Sri Baduga Maharaja Pajajaran yang menurut
(oleh) orang Sunda disebut Prabu Siliwangi."
Dengan demikian, nama Siliwangi adalah julukan
penduduk Sunda untuk Sri Baduga Maharaja (w. 1521). Nama ini sebenarnya sudah
muncul ketika beliau masih hidup, sebagaimana termaktub dalam naskah Sanghyang Siksa
Kandang Karesian (SSKK) yang ditulis tahun 1518 M. Dalam naskah itu disebutkan,
"Bila ingin tahu tentang pantun, seperti Langgalarang, Banyakcatra,
Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun."
Siliwangi berarti silih-wangi, pengganti Prabu
Wangi (Linggabuana) yang gugur tahun 1357 M bersama putrinya Dyah Pitaloka.
Jayadewata (Manahrasa) dianggap memiliki keberanian seperti buyutnya itu.
Karena itu, ia berhak menyandang gelar Sri Baduga Maharaja. Sementara dalam
perilakunya, ia merepresentasikan pribadi, Wastukancana, kakeknya (w. 1475 M).
Jayadewata memang sangat layak dikenang segenap
orang Sunda. Hingga sekarang kita bangga disebut sebagai seuweu-siwi Siliwangi.
Keagungannya itu antara lain ditandai oleh kemampuannya menyatukan kembali
kerajaan Sunda. Setelah Wastukancana wafat, kerajaan terbagi dua. Anak
sulungnya, Susuktunggal (Sang Haliwungan), bertakhta di Pakuan (Bogor),
sementara anaknya yang lain, Dewa Niskala (Ningrat Kancana), berkedudukan di
Kawali (Ciamis).
Lalu datanglah cobaan besar pada tahun 1478 M,
ketika Majapahit diserang Demak. Sejumlah pembesar dari timur melarikan diri ke
arah barat, meminta suaka kepada penguasa Kawali. Di antara pengungsi itu
terdapat Raden Baribin (putra Brawijaya IV) dan seorang "istri
larangan" (gadis yang sudah bertunangan). Dalam hukum Sunda, perempuan
seperti itu "haram" dinikahi kecuali tunangannya sudah meninggal atau
pertunangannya dibatalkan. Namun Dewa Niskala tetap menikahi "istri
larangan" itu dan Raden Baribin dijadikan menantunya, dinikahkan dengan
Ratu Ayu Kirana.
Tindakan Dewa Niskala itu membuat keluarga
keraton dan Susuktunggal marah. Mereka menganggapnya telah melanggar hukum yang
berlaku dan "tabu kerajaan". Sebagaimana diketahui, setelah peristiwa
Bubat, keluarga Keraton Kawali ditabukan menikah dengan keluarga dari
Majapahit. Maka perbuatan Dewa Niskala dianggap sebagai pelanggaran yang tidak
bisa dimaafkan. Di tengah suasana genting itulah, Jayadewata tampil sebagai
penengah. Ia mewarisi kerajaan dari ayah dan mertuanya tahun 1482 M. Oleh
karena itu, ia dinobatkan dua kali, di Kawali dan Pakuan, serta memperoleh dua
gelar, Prabu Guru Dewataprana dan Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan
Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Harta karun Siliwangi
Salah satu harta karun paling berharga dari Prabu
Siliwangi ialah naskah bernama Sanghyang Siksa Kangda ng Karesian (SSKK).
Naskah ini ditulis pada tahun 1518. Naskah ini secara jelas memaparkan apa yang
harus dilakukan oleh pemimpin (menak) dan rakyat (somah), jika ingin meraih
keunggulan. Menegaskan apa yang bisa membuat tugas hidup kita di dunia ini
paripurna. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kupasan optimal atas naskah ini
setelah ditransliterasi oleh Atja dan Saleh Danasamita tahun 1981.
SSKK adalah penjelasan dari Amanat Galunggung/AG
(+ 1419 M). AG ditulis sebagai nasihat Prabu Darmasiksa kepada putranya, Sang
Lumahing Taman. Dalam AG tercatat bahwa nasihat-nasihat itu bersumber kepada
tokoh nu nyusuk na Galunggung (yang membuat parit di Galunggung). Menurut
prasasti Geger Hanjuang, pada tahun 1033 Saka atau 1111 M, Batari Hyang membuat
parit pertahanan. Di rajyamandala (kerajaan bawahan) Galunggung. Tepatnya di
Rumantak, Linggawangi (sekarang Leuwisari, Singaparna, Tasikmalaya). Tokoh
Batari Hiyang inilah yang dianggap telah mengodifikasi petuah-petuah yang kelak
menjadi AG dan SSKK.
Menurut Ayatrohaedi (2001), dalam bagian pertama
naskah ini tercatat Dasakrjta sebagai pegangan orang banyak, dan bagian kedua
disebut Darmapitutur berisi hal-hal berkenaan dengan pengetahuan yang
seyogianya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup berguna di dunia. Uraian
naskah itu tampak didasarkan kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan
bernegara. Atau dalam bahasa Atja dan Saleh Danasasmita (1981), naskah tersebut
berisi aturan hidup warga negara (citizenship).
Substansi naskah itu masih sangat relevan untuk
dikaji pada saat sekarang. Terutama ajaran tentang kejujuran dan keluhuran
perilaku hidup lainnya. Naskah ini dibuka dengan anjuran menjaga sepuluh
anggota tubuh (dasaindria) yang kita miliki, dari mata hingga kaki. Misalnya
tangan, dianjurkan agar tidak sembarang mengambil segala sesuatu yang bukan
haknya, karena akan menjadi pintu bencana dan kenistaan. Dalam konteks sekarang
bisa dimaknai, jangan korupsi.
Demikian pula dengan dasapasanta yang
menjelaskan sepuluh syarat jika seorang pemimpin ingin berwibawa di mata
rakyatnya. Ditaati dan dijalankan perintah/instruksinya. Yaitu guna
(bijaksana), rama (ramah), hook (proporsional, bukan like and dislike), pesok
(membangkitkan semangat), asih (penuh kasih), karunya (pembagian tugas yang
jelas), mupreruk (membujuk), ngulas (membangkitkan harga diri), nyecep
(menumbuhkan percaya diri), dan ngala angen (mengambil hati).
Walhasil, sambil terus beradaptasi secara kritis
dengan setiap perkembangan z
aman, menjaga tradisi leluhur yang baik itu
tetaplah penting dan relevan. (Dicutat tina : http://klipingkumincir.blogspot.com/ )
Iip D. Yahya
(visiting scholar University of Michigan (2004),
peminat sejarah Sunda, tinggal di Yogyakarta)
COMMENTS